Konstruksi Mitos dan Kelokalan Sebagai Alat Eksklusi (Akses Masyarakat Lokal dan Imigran Terhadap SDA di Desa Lempur Kerinci-Jambi)
Abstract
Abstract: This paper explains how the community of Lempur Village living in the forest area have a high dependence with nature. The position of the community is considered to interfere with the conservation program, that they must accept losing access to the forest area that has become the state property (TNKS). The loss of access to forest resources, pushed them to be more protective with the land that already allocated to them by the local government. Their openness to migrants began to fade and they did not tolerate new migrants who cleared land, reinforced by the ancestors history to reinforce the concept of localization to see who has the right to access land in Lempur Village. Moreover, other form of their resistance is by reconstruct the myths, addressed to immigrants, corporations, and tourists.
Intisari: Tulisan ini menjelaskan bagaimana masyarakat Desa Lempur yang tinggal berbatasan dengan hutan sangat menggantungkan hidupnya terhadap alam. Posisi masyarakat desa dianggap mengganggu program konservasi sehingga mereka harus menerima kehilangan akses di area hutan yang sudah menjadi milik negara (TNKS). Dengan hilangnya akses mereka terhadap sumber daya hutan yang kini dijadikan area konservasi, menuntut mereka untuk lebih protektif terhadap sisa lahan yang memang sudah diperuntukan bagi mereka oleh pemerintah daerah. Keterbukaan mereka terhadap pendatang mulai pudar dan tidak lagi dapat mentoleransi pendatang membuka lahan. Diperkuat dengan sejarah nenek moyang mereka untuk mengukuhkan konsep kelokalan guna melihat siapa yang memiliki hak untuk mengakses tanah di Desa Lempur ini. Selain itu bentuk lain dari perlawanan mereka ialah dengan merekonstruksi kembali mitos-mitos yang sangat kuat digaungkan kepada pendatang, baik imigran, perusahaan, maupun wisatawan.
Downloads
References
Ben White, Saturnino M. Borras Jr., Ruth Hall, Ian Scoones & Wendy Wolford 2012, “The new enclosures: critical perspectives on corporate land deals”, Journal of Peasant studies, 39:3-4,hlm 619-647.
Darmanto 2012, Berebut hutan siberut : orang mentawai, kekuasaan, dan politik ekologi, Gramedia, Jakarta.
Escobar, Arturo 2008, Territories of difference, place, movements, life, redes, Duke University Press, London.
Hall, D., Hirsch, S. dan Li 2011, The powers of exclusion: land dilemmas in southeast asia, NUS Press, Singapore.
Li, Tania M 2012, The will to improve : perencanaan, kekuasaan, dan pembangunan di indonesia, Marjin Kiri, Jakarta Pusat.
Luthfi, Ahmad, N 2013, “Review buku: eksklusi dan inklusi sebuah sisi mata uang”, Bhumi Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM – STPN. No.37 tahun 12, STPN : Yogyakarta.
Murtijo, Nugraha, A 2005, Antropologi Kehutanan,Wana Aksara, Banten.Ribot, J.C. dan Peluso, N 2003, “A theory of access”, Rural Sociology.
Scott, James C 2000, Senjatanya orang-orang yang kalah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Wartaputra, Sutisna 1990, Pola pengelolaan daerah penyangga (suatu acuan pemikiran), Direktur Jenderal PHPA Departemen Kehutanan, Jayapura. Sumber Internet:http://jambi.tribunnews.com/2013/02/13/longsor-geothermal-di-kerinci-murni-bencana-alam
http://regional.kompas.com/read/2013/02/07/02361286/7.Juta.Hektar.APL.Tak.Terlindung